Pada kesempatan kali ini, saya
akan membahas mengenai keadilan. Dalam hati saya sering sekali
muncul pertanyaan “mengapa sulit sekali untuk mendapatkan sebuah keadilan yang
benar-benar adil pada jaman modern seperti saat ini ??“
Saya
sering bertanya seperti itu, karena saya pernah merasakan ketidakadilan dalam
kehidupan saya. Salah satu ketidakadilan yang saya alami, saat saya kelas XII. Pada
setiap kenaikan kelas, guru-guru entah siapa pun itu pasti mengingatkan kepada
setiap murid-muridnya untuk terus rajin belajar agar nantinya nilai rata-rata
raport kita bisa mencapai angka 7 dan mengalami peningkatan setiap semesternya
supaya bisa mengikuti PMDK atau SNMPTN Undangan
SNMPTN
Undangan itu salah satu jalur masuk ke perguruan tinggi dengan persyaratan
tertentu. Seperti, nilai rata-rata raportnya di atas 7, dan pada saat kelas XII
semester pertama, ia harus masuk peringkat 20 besar.
Tentu
saja, saya semangat saat mendengar hal itu. Dan hasil kerja keras saya juga
tidak sia-sia setiap orang tua saya datang mengambil raport saya. Dan akhirnya,
saat kelas XII, saya ikut SNMPTN Undangan tersebut. Dan saat pengumuman SNMPTN
Undangan via online sudah tiba, hanya murid-murid sekolah saya yang masih
bingung, “gue lulus apa enggak nih ???”. Perasaan campur aduk, galau saat
menanti penguman yang mendebarkan itu, termasuk saya juga merasakan hal
tersebut.
Dan
untuk melihat pengumuman apakah kita lulus atau tidak, kita harus memasukkan
nomer PIN kita. Murid-murid sekolah lain mendapatkan nomer PIN mereka, dan
hanya murid-murid sekolah saya yang tidak mendapatkan nomer PIN tersebut. Eeeh ternyata,
setelah sehari setelah pengumuman SNMPTN Undangan tersebut, hanya beberapa
teman saya yang telah mendapatkan nomer tersebut. Dan yang lain tidak
mendapatkan. Saya dan teman-teman saya menanyakan tentang hal yang sedikit
mengganjal ini kepada guru yang mengurus tentang SNMPTN Undangan ini. Alhasil,
semua jawabannya sangat berbelit. Sampai orangtua saya mendatanginya juga jawabannya
masih berbelit.
Setelah
saya dan beberapa teman saya membandingkan sistem pendaftaran yang dilakukan
oleh sekolah saya dengan sekolah lain memang berbeda, termasuk berbeda sekali
dengan ketentuan peraturan dari SNMPTN-nya itu sendiri. Seharusnya, yang bisa
mengikuti SNMPTN Undangan ini hanya yang masuk dalam peringkat 20 besar saat
kelas XII semester pertama, namun di sekolah saya siapa saja boleh ikut asalkan
dia mendaftarkan diri. Nah loh ???? dari situlah saya dan teman-teman saya
merasa ada keanehan dengan hal tersebut.
Dan
beberapa hari kemudian, guru tersebut meminta maaf kepada saya dan hanya
beberapa teman saya. Entah meminta maaf dengan alasan apa. Dan beliau juga
mengatakan kepada kami, “nanti bapak kembalikan uang kalian“. Dari perkataan
beliau seperti itu, kami semakin yakin, ada beberapa orang yang dikorbankan
untuk tidak didaftarkan SNMPTN, termasuk saya. Dan sebuah amplop berisi uang
itu pun kembali ke tangan kami. Namun, kami segera mengembalikannya. Disitulah saya
menangis. Bukan hanya saya, tapi teman-teman saya yang senasib dengan saya.
Saya
menangis BUKAN karena UANG saya hilang sia-sia begitu saja. UANG bisa dicari. Tapi
karena KESEMPATAN yang hilang begitu saja. Kesempatan tak datang dua kali.
Apakah arti kerja keras saya selama ini jika akhirnya seperti ini??? Dan,
disitulah saya sangat teramat kecewa dengan guru itu. Dan itulah salah satu
ketidakadilan yang pernah saya alami.
Dan Coba kita lihat, masih banyak
tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan sikap “keadilan” terutama di Negara
kita tercinta, Indonesia. Keadilan di Negara ini ternyata bisa dibeli loh. Padahal
kalau kita perhatikan, keadilan itu bukan suatu barang atau benda atau makanan
yang bisa dibeli dengan uang. Kok keadilan
bisa dibeli sih ??? masih bingung ??? contohnya seperti berikut ini :
Kalian pasti
pernah menonton tayangan nenek yang harus berhadapan dengan meja hijau, lalu
ditahan hanya karena beliau memetik 3 buah kakao di sebuah perkebunan yang
dimiliki oleh suatu perusahaan. Mbah Minah, nama nenek tersebut, tidak bisa
membaca peringatan yang terpasang pada perkebuan tersebut, karena
beliau seorang yang buta huruf. Mbah Minah sudah meminta maaf dan
mengembalikan kakao tersebut, saat seorang mandor perkebunan menegurnya. Namun,
kasus ini ternyata berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di meja
hijau. Mbah Minah yang polos dan dengan jujur mengakui bahwa dirinya tak
bersalah dan tak punya niat sedikit pun untuk mencuri saat di depan majelis
hakim. Tapi, perusahaan tersebut tetap ingin membawa kasus ini ke jalur hukum.
Saya
merasa terenyuh melihatnya, siapapun yang melihatnya juga pasti merasakan hal
yang sama dengan saya. Seorang nenek yang umurnya sekitar 55 tahun diseret ke
pengadilan dan divonis bersalah karena “HANYA” memetik 3 buah kakao di sebuah
perkebunan yang pastinya luasnya dalam satuan hektar. Padahal, setiap kali
beliau menghadiri siding, Mbah Mnah haruus mengeluarkan uang transport sekitar
Rp. 50.000,00. Dan sampai suatu ketika, beliau pernah diberi ongkos pulang oleh
ibu jaksa. Dan akhirnya majelis hakim memutuskan, Mbah Minah dihukum percobaan
1 bulan 15 hari. Jadi, Mbah Minah tak perlu mnjelani hukuman itu, dengan
catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.
Dimanakah hati
nurani mereka ???? dimanakah makna “keadilan sosial bagiseluruh rakyat
Indonesia ???”. Apakah sila ke-2 tersebut sudah tak berlaku lagi??? Hukum yang
mestinya melindungi masyarakat dengan
menegakkan keadilan, rupanya tak memberikan ampun bagi orang kecil seperti Mbah
Minah. Tetapi, koruptor pencuri miliaran rupiah uang “RAKYAT” sering kali tak
sebanding dengan sanksi hukum. Apa hanya mereka yang mempunyai kedudukan,
jabatan, kekuasaan, serta harta nyang melimpah yang bisa mendapatkan keadilan
???? dan saat mereka ternyata terbukti bersalah, bahkan mereka bisa lepas dari
kasus hukum tersebut. Dan bahkan mereka saling menyalahkan atau saling
tunjuk-menujuk satu dengan yang lainnya. Dan parahnya orang mau disuap demi
bisa menjual sebuah keadilan. Berapa sih harga sebuah keadilan ??? apa harga
sebuah keadilan sama dengan harga sebuah permen yang siapun bisa membelinya ???
Dengan begitu,
Apa sih yang mereka cari di Negara atau di dunia ini ??? padahal, jabatan,
kedudukan, kekuasaan, harta sudah mereka dapatkan. Mungkin nilai kejujuran bagi
mereka sudah tidak berguna di dalam kehidupan mereka. Seharusnya mereka malu
dengan apa yang mereka perbuat, malu ketika kasus mereka direkam oleh media
massa dan dilihat oleh seluruh masyarakat dalam negeri ini atau bahkan sudah tersebar luas di luar
negeri, malu ketika keadilan bisa dibeli, malu saat mereka ditonton oleh
anak-anak atau anaknya sendiri yang seharusnya bisa memberikan contoh sikap
atau perilaku yang baik untuk mereka, dan malu karena Allah SWT, karena Allah
SWT tak pernah tidur, Allah selalu melihat semua gerak-gerik umatnya.
Subhanallah, seharusnya mereka sadar. Apa yang mereka lakukan pasti akan
dimintai pertanggung-jawaban di akhirat nanti. Sungguh pedih Adzab Allah SWT.
Oleh karena itu,
kita para muda-mudi, belajar lah untuk selalu bersikap jujur dan adil dari
hal-hal kecil mulai sekarang J
dan harus kita sadari juga, hakim
seadil-adilnya itu ialah Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar